IKUTILAH AJANG POTENSI PELAJAR ISLAM. Minggu, 24 Juli 2011 di Kampus Iprija
Ikutilah Lomba Pidato Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Marawis/Nasyid, MTQ di Ajang Potensi Pelajar Islam (APPI). Minggu, 24 Juli 2011 di Kampus IPRIJA

Jumat, 21 Agustus 2009

Antara”Miss Universe” dan ”Sapi Perah”

Oleh : DR. Adian Husaini

Menjelang bulan Suci Ramadhan 1430 Hijriah, media massa Indonesia banyak menyiarkan berita tentang prestasi yang diraih oleh Zivanna Letisha Siregar, anak Indonesia yang ikut dalam Kontes Ratu Kecantikan sejagad (Miss Universe) 2009. Hasil jajak pendapat di missuniverse.com pada Kamis (20/8/2009) menunjukkan, Zizi – panggilan Zivanna – menduduki peringkat ketiga, satu prestasi yang belum pernah diraih oleh putri Indonesia sebelumnya. Prestasi itu diraih karena banyaknya orang Indonesia yang mendukungnya lewat polling. Media massa pun gegap gempita mendukungnya. Banyak yang secara terbuka bangga dan berharap, Zizi akan menang dalam kontes miss universe tersebut.


Menariknya, hampir tidak tampak lagi suara yang mempersoalkan keikutsertaan wakil Indonesia tersebut di pentas pemilihan Ratu sejagad. Nyaris tak terdengar suara MUI, Departemen Agama, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Seolah-olah kehadiran Zizi di pentas kecantikan internasional itu memang sudah direstui oleh bangsa Indonesia. Padahal, dalam kontes tersebut, Zizi menampilkan pakaian bikini yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu mengundang kontroversi. Begitu kuatnya arus global informasi tersebut, sehingga mampu menyekat suara-suara yang berbeda. Semua seperti digiring untuk bungkam. Seolah-olah banyak yang sudah tahu akan resiko yang dihadapi jika berani mempersoalkan hal-hal seperti ini maka akan dengan mudah dikecam sebagai manusia yang sok moralis, menghambat kebebasan berekspresi, kaum radikal dan sebagainya.
Mungkin, sadar akan kekuatan besar seperti itulah, maka banyak yang memilih diam, atau enggan berkomentar. Semua seperti sadar, bahwa sekarang adalah zaman kebebasan. Ini zaman liberal. Semua serba boleh. Maksiat atau tidak maksiat tidak peduli lagi. Yang penting seru! Yang penting enak ditonton! Yang penting menghibur! Yang penting menghasilkan uang! Persetan dengan semua nilai moral atau agama!
Padahal, diukur dari sudut pandang Islam, jelas keikutsertaan dalam kontes kecantikan seperti kontes Miss Universe adalah perbuatan haram. Itu jelas dosa! Itulah kemungkaran yang sangat nyata; mengumbar aurat di muka umum. Mungkin Zizi dan para pendukungnya berpikir, bahwa tubuh yang dimilikinya adalah miliknya sendiri, dan dia merasa seratus persen berhak untuk menggunakannya untuk tujuan apa saja sesuai kehendaknya. Tidak ada urusan dengan aturan Allah SWT. Mungkin, mereka juga berpikir, bahwa toh, tindakan itu tidak merugikan orang lain! Tidak mengganggu lain. Apa salahnya!
Salah satu media internet yang mengkritik keras keikutsertaan putri Indonesia dalam ajang Miss Universe 2009 itu adalah www.voa-islam.com. Situs ini secara tegas mengkritik kontes tersebut: ”Beginikah kiblat kemajuan sebuah peradaban dimana wanitanya harus berani meludahi ajaran para Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw? Beginikah simbol sebuah kemajuan peradaban dimana wanitanya akan dihormati manakala berani membuka dada dan paha? Ataukah beginikah standar kecantikan wanita manakala layak tubuhnya dijadikan simbol penglaris dagangan saja?”
Dalam suasana gegap gempitanya paham kebebasan dan – meminjam istilah Taufik Ismail -- ”Gerakan Syahwat Merdeka” di Indonesia, memang suara-suara yang menyerukan agar manusia Indonesia menjadi manusia-manusia yang lebih adil dan beradab menjadi tenggelam. Padahal, ada al-Quran sudah mengajak perempuan untuk menutup auratnya: "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya ke dadanya" (QS An-Nur:31).
Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda: "Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian." (HR. Muslim)
Betapa pun, Zizi adalah Muslimah. Bahkan, konon, ia adalah lulusan sebuah SMU Islam di Jakarta. Yang harus dilakukan jika seorang Muslim/muslimah ketika melakukan tindakan dosa adalah bertobat. Bukan malah bangga dengan tindakannya dan mengajak orang lain untuk mengikuti tindakan dosanya. Apakah Zizi, kedua orang tua, dan pendukungnya yang Muslim tidak tahu bahwa tindakan mengumbar aurat seperti itu adalah tindakan dosa? Sebagai sesama Muslim, kita WAJIB mengimbau dan menasehatinya. Kita tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Masing-masing kita akan bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Allah.

Sapi perah

Jika Zizi dan para pendukungnya enggan mendengar pendapat yang masih berbau agama, ada baiknya juga disimak pendapat Dr. Daoed Joesoef, seorang cendekiawan yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai tokoh sekular. Daoed Joesoef pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode (1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya yang sekular.
Pemikirannya yang sekular telah banyak mengundang kritik dari para tokoh Islam. Tetapi, ada satu sisi pemikirannya yang sejalan dengan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, yaitu kritik-kritiknya yang keras dan tajam terhadap keberadaan kontes ratu-ratuan. Daoed Joesoef adalah doktor lulusan Sorbonne Perancis (1972) dan Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Ia juga pernah menjadi anggota pengurus organisasi ”Angkatan Seni Rupa Indonesia” di Medan (1946), dan Ketua cabang Yogyakarta untuk organisasi ”Seniman Indonesia Muda” (1946-1947).
Betapa sekularnya pemikiran Daoed Joesoef bisa disimak dari sikapnya yang tidak mau mengucapkan salam Islam saat menjabat Menteri P&K. Dalam memoarnya yang terbit tahun 2006 berjudul ”Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”, Daoed Joesoef memberikan alasan: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”
Tentu saja, jika diukur pada tataran sekarang, pandangan dan sikap Daoed Joesoef semacam itu tampak ganjil. Tetapi, tidak semua pendapat Daoed Joesoef perlu ditolak. Ada pendapatnya yang sangat menarik untuk disimak dan direnungkan. Sebagai cendekiawan, pandangannya terhadap berbagai jenis kontes ratu kecantikan, bisa dikatakan sangat tajam dan mendasar. Saat menjadi Menteri P&K pula, Daoed Joesoef menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Ketika itu memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss, ada Miss Kacamata Rayban, Miss Jengki, Miss Fiat, Miss Pantai, disamping pemilihan ratu ayu daerah, ratu ayu Indonesia yang langsung dikaitkan dengan berbagai jenis keratuan internasional. Dan semuanya, tulis Daoed Joesoef, ”menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat Indonesia.”
Apa kata Daoed Joesoef tentang semua jenis ratu-ratuan tersebut? ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara,” tulis Daoed Joesoef.
Menurut mantan dosen FE-UI ini, wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed Joesoef menyampaikan kritik pedasnya: ”Pendek kata kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed Joesoef memberikan porsi cukup panjang (hal. 649-657) untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri. Perempuan tentu boleh tampil cantik. Tapi, Daoed Joesoef mengingatkan tiga hal. Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri. Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit. Ketiga, kecantikan yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke perempuan cantik lain.
Semasa belajar di Paris, Daoed Joesoef mengaku pernah membaca sebuah kasus seorang guru matematika dipecat oleh Menteri Pendidikan Nasional Perancis, gara-gara guru tersebut mengikuti kontes ratu kecantikan daerah yang merupakan awal dari pemilihan ratu kecantikan nasional. Ketika itu tidak ada media yang membelanya, karena publik mengangga kegiatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang guru. Karena itu, menurutnya, jika ada pendidik yang membela kegiatan pemilihan ratu ayu, pantas sekali dipertanyakan bagaimana keadaan nuraninya.
”Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan. Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tulis Daoed Joesoef.
Daoed Joesoef menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan dan banyak pesertanya yang mahasiswi. Juga ia menolak alasan, bahwa penggunaan pakaian renang dalam kontes semacam itu adalah hal yang biasa. ”Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang,” tulis Daoed Joesoef lebih jauh.
Bahkan, Daoed Joesoef menyamakan peserta kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: ”setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Terhadap orang yang menyatakan, bahwa yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed Joesoef menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. ”Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.
Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed Joesoef menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa menarik wisatawan.
Lalu, apa jalan keluarnya? ”Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!” seru Daoed Joesoef. “Namun,” lanjutnya, “kalau perempuan sendiri bergairah melakukan perbuatan yang tercela itu karena kepentingan materi sesaat tanpa mempedulikan masa depan anak-anak, ya mau bilang apa lagi!”.
Meskipun kita tidak sependapat dengan banyak pemikiran sekular Daoed Joesoef, tetapi pandangannya tentang ratu-ratuan ini patut kita acungi jempol. Kini, di tengah-tengah semakin menguatnya hegemoni liberalisme nilai-nilai moral dan menghunjamnya paham materialisme, pendapat jernih Daoed Joesoef dalam soal peran dan kedudukan perempuaan perlu diperhatikan, khususnya bagi pejabat dan pemuka masyarakat. Secara terbuka Daoed Joesoef mengimbau:
“Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani,masih berhasrat menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakaat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar menjadi IBU yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga, perannya yang paling alami, jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci…”
.
Demikianlah, sebuah contoh pemikiran yang jernih tentang kedudukan dan martabat perempuan. Mudah-mudahan masih ada petinggi negara dan elite masyarakat yang mendukung pemikiran semacam ini, dan kemudian berani melakukan tindakan untuk menegakkan kebenaran, meskipun resikonya, dia bisa jadi tidak akan populer. (Depok, 20 Agustus 2009).
Read More......

PANCASILA Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam PDF

PANCASILA
Bukan Untuk Menindas
Hak Konstitusional Umat Islam
(Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman terhadap Pancasila 1945-2009)
Oleh : DR. Adian Husaini

Bisa dikatakan, sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 adalah sejarah pemaknaan dan penafsiran Pancasila. Berbagai kelompok dan aliran ideologi berusaha memberikan tafsir Pancasila, sesuai dengan aspirasi ideologisnya. Kaum Kristen, misalnya, mengembangkan model penafsiran sekular dan netral agama untuk Pancasila. Orde Lama mengembangkan penafsiran Pancasila ala ”nasakom” yang memadukan antara agama, nasionalis, dan komunis. Orde Baru muncul dengan jargon koreksi total terhadap Orde Lama dan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, ideologi bangsa, dan pedoman moral bangsa. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sempat dijadikan sebagai model tafsir tunggal terhadap Pancasila. Penataran-penataran Pancasila digalakkan. Toh, akhirnya, penafsiran dan penarapan Pancasila semacam itu didikoreksi oleh generasi berikutnya.

Hingga kini, setelah 10 tahun lebih era reformasi berjalan, banyak pihak masih terus mencari-cari rumusan baru tentang model penafsiran Pancasila. Bahkan, tidak sedikit yang mulai khawatir akan masa depan Pancasila. Namun, sebagian masih terus menggebu-gebu mengangkat dan menjadikan Pancasila sebagai ”alat pemukul” terhadap aspirasi umat Islam di Indonesia. Setiap ada peraturan atau perundang-undangan yang diperuntukkan bagi orang Islam di Indonesia, langsung dituduh dan dicap sebagai ”anti-Pancasila” dan ”anti-NKRI”.

Sebuah Tabloid Kristen, Reformata edisi 103/2009, misalnya, kembali mempersoalkan penerapan syariat Islam di Indonesia. Para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan Halal dan RUU Zakat dikatakan akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid tersebut.
Tabloid Kristen Reformata edisi 110/2009 kembali mempersoalkan penerapan syariat Islam bagi umat Islam di Indonesia. Edisi kali ini mengangkat judul sampul: “RUU Diskriminasi Segera Disahkan.” Yang dimaksudkan adalah RUU Makanan Halal yang akan disahkan oleh DPR. Tabloid yang terbit menjelang Pilpres 2009 ini, menulis pengantar redaksinya sebagai berikut: “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diberlakukannya ”Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan itu lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam peraturan perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain. Apa pun alasannya, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar negeri ini.”
Sikap kaum Kristen – dan juga sebagian warga Indonesia lainnya – yang sangat gigih menolak segala hal yang berbau Islam di Indonesia sangat mengherankan. Bahkan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, telah mengirimkan surat kepada para capres ketika itu. Isinya sebagai berikut: ”Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.”
Bukan hanya Perda-perda yang dianggap berbau syariat Islam yang dipersoalkan. Pihak Kristen juga masih mempersoalkan UU Perkawinan yang telah berlaku di Indonesia sejak tahun 1974. Aneh juga, kalau UU tentang Sisdiknas yang sudah disahkan oleh DPR dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tahun 2003 juga terus dipersoalkan, dan dianggap oleh kaum Kristen sebagai hal yang bertentangan dengan Pancasila.
Benarkah pemahaman Pancasila versi kaum Kristen tersebut? Jika ditelusuri, sikap kaum Kristen terhadap Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana dipaparkan dalam buku terbaru karya Dr. Adian Husaini ini, masih belum banyak bergeser banyak dari pandangan dan sikap kaum penjajah Belanda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pihak Kristen sudah berhasil memaksakan kehendaknya, sehingga pada 18 Agustus 1945, ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus dari Piagam Jakarta. Umat Islam ketika itu terpaksa menerima, untuk menjaga keberlangsungan Negara Merdeka yang baru saja diproklamasikan satu hari sebelumnya.
Tetapi, Piagam Jakarta kemudian dikembalikan oleh Bung Karno dalam Dekrit 5 Juli 1959. Jadi, Piagam Jakarta adalah dokumen yang sah yang di masa Bung Karno juga dijadikan sebagai konsiderans sejumlah produk perundang-undangan. Anehnya, begitu memasuki era Orde Baru, Piagam Jakarta justru dijadikan ”momok” dan barang haram yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Di masa itu, orang yang menjadikan Piagam Jakarta sebagai landasan hukum dicap sebagai bagian dari ekstrim kanan. Di dalam buku Strategi Politik Nasional karya Ali Moertopo, (Jakarta: CSIS, 1974), digariskan strategi politik Orde Baru di bidang ideologi: ”...Demikian pula usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke arah kanan dengan memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum, dan secara lebih ekstrim untuk mendirikan negara Islam, juga telah diatasi, khususnya dalam Sidang MPRS ke-V meskipun di sana-sini masih disebut-sebut tentang Piagam Jakarta.”
Jadi, menurut Ali Moertopo yang pernah menguasai politik Orde Baru pada dekade 1970-an, usaha memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum disebut sebagai upaya untuk menyelewengkan Pancasila. Cara pandang yang a-historis dan tidak konstitusional seperti ini masih saja dipakai oleh sebagian kalangan tertentu. Ini adalah akibat kesalahpahaman terhadap Pancasila. Sayang sekali, para tokoh Kristen di Indonesia, masih belum bersedia menerima kenyataan sejarah dan hak konstitusional umat Islam, sehingga terus memproduksi pemahaman yang keliru, dan dalam beberapa hal bisa meningkatkan kebencian dan kecurigaan terhadap kaum Muslim di Indonesia, sehingga sering keluar ungkapan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Contoh pemahaman Pancasila yang sekularistik dan netral agama diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) periode 1977-1982, Dr. Daoed Joesoef. Tokoh CSIS ini menuliskan dalam memoarnya bahwa semasa menjabat Menteri P&K ia telah berusaha keras meyakinkan Presiden Soeharto agar negara Indonesia membuat pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Meskipun seorang Muslim, Daoed menolak untuk mengucapkan salam Islam. Alasannya, ia bukan menterinya orang Islam saja dan Indonesia juga bukan negara Islam. ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam,” kata Daoed Joesoef.
Daoed Joesoef juga meminta agar di Istana Negara diselenggarakan Perayaan Natal Bersama, bukan hanya Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam memoarnya yang berjudul Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006), Daoed Joesoef menjabarkan secara panjang lebar gagasan dan harapannya agar Indonesia menjadi negara yang netral secara agama, sebagaimana Turki. Ia berharap Presiden Soeharto bersikap seperti Mustafa Kemal Ataturk, Bapak sekular Turki. Tapi, harapannya kandas. Presiden Soeharto hanya mengangkatnya sebagai Menteri P&K satu periode saja.
Itulah contoh pemahaman tentang Pancasila yang netral agama. Untuk meminggirkan aspirasi dan hak konstitusional umat Islam, selama beberapa dekade dikembangkan berbagai ragam penafsiran Pancasila yang sekular dan ”netral-agama”. Pancasila diletakkan dalam bingkai konsep sekular. Setiap ada usaha kaum Muslim untuk menerapkan agamanya pada level kemasyarakatan dan kenegaraan, maka akan serta merta dituduh telah menyimpang dari Pancasila.
Padahal, sejarah kelahiran Pancasila dan bunyi teks Pembukaan UUD 1945 – yang hanya beda 7 kata dengan Piagam Jakarta, dan merupakan sumber naskah Pancasila – sebenarnya sangat kental dengan nuansa pandangan-dunia atau pandangan-alam Islam (Islamic worldview), bukan pandangan dunia sekular atau ateis. Para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila, seperti KH Wahid Hasjim (NU), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan sebagainya, berhasil mempengaruhi rumusan tersebut, sehingga seharusnya mampu mencegah penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul aspirasi umat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pandangan para tokoh Islam, bahwa Pancasila – khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa -- adalah konsep Tauhid, tetap tidak berubah. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Berbeda dengan para tokoh Islam, para tokoh Kristen di Indonesia selama beberapa dekade telah memberikan tafsir Pancasila yang netral agama. Terkait dengan tema Pancasila dan Agama, tokoh Katolik Prof. Dr. N. Drijarkoro S.J. dalam Seminar Pancasila I di Yogyakarta pada tanggal 16-20 Februari 1959, membuat sejumlah kesimpulan, bahwa: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah. Tugas negara yang berdasarkan Pancasila hanyalah memberi kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan religi. Dengan demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang dapat timbul bila agama dan negara dijadikan satu.”
Selanjutnya dikatakan oleh Drijarkoro S.J: “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular, karena mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak mendasarkan diri atas sesuatu agama tertentu. Negara yang berdasarkan Pancasila adalah negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan kondisi yang sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi negara Pancasila itu tidak bersikap indifferent terhadap religi. Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan bangsa kita yakni sebagai monotheisme.”
Di masa Orde Lama, ketika dekat dengan PKI, Bung Karno pernah menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi Pancasila. Keduanya merupakan satu kesatuan, sambil membuat perumpamaan kesatuan antara al-Quran dan hadits. Dikatakan oleh Soekarno: “Quran dan hadits shahih merupakan satu kesatuan, maka Pancasila dan Manifesto Politik dan USDEK pun merupakan satu kesatuan. Quran dijelaskan oleh hadits, Pantjasila dijelaskan dengan Manifesto Politik serta intisarinya yang bernama USDEK. Menifesto Politik adalah pemancaran daripada Pancasila! USDEK adalah pemancaran daripada Pancasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain.”
Di masa Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal bagi Ormas dan Orpol. Juga, dikembangkan tafsir Pancasila model P4. Akhirnya, sejarah membuktikan, Pancasila terpuruk bersama Orde Baru. Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, dalam bukunya yang berjudul ”Negara Pancasila” (2009) menjelaskan serangkaian kekeliruan penafsiran Pancasila dan akibatnya sekarang: ”Sejarah selanjutnya dapat kita simak. Pancasila yang telah direbut negara justru kedodoran ketika menjelaskan perilaku pemerintahan. Masyarakat tidak mampu mengontrol, karena kebenaran dan kontrol ideologi hanya milik negara. Padahal, Pancasila belum mampu berkembang menjadi ”ideologi ilmiah” atau apa pun yang dapat dipertandingkan dengan ideologi-ideologi besar. Keinginan Pancasila untuk membumi malah kontraproduktif menjadi indoktrinasi. Pancasila kemudian tersudut, dikeramatkan, dimonopoli, dan dilindungi dengan tindak kekerasan. Pancasila yang keropos itu akhirnya mengalami nasib naas; jatuh tersungkur bersama rezim Orde Baru. Masyarakat menjadi trauma dengan Pancasila. Dasar negara ini seolah dilupakan karena hampir identik dengan rezim Orde Baru. Tragedi demikian seperti mengulang pengalaman tiga dekade sebelumnya. Sejarah berulang.”
Jadi, bagaimana sebenarnya pemahaman Pancasila yang tepat? Buku yang ditulis Dr. Adian Husaini ini membuktikan besarnya pengaruh Pandangan Dunia atau Pandangan Alam Islam (Islamic worldview) terhadap Pembukaan UUD 1945, meskipun telah dikurangi tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Perdebatan-perdebatan seru di BPUPK dan PPKI membuktikan ketangguhan dan kejeniusan para tokoh Islam dalam memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam rumusan dasar negara. Kegagalan mereka dalam mewujudkan sebuah negara berdasar Islam secara ekspilit, tidak mengurangi semangat juang mereka untuk tetap menjadikan Pembukaan UUD 1945 – yang didalamnya terkandung Pancasila – sebagai konsep dasar negara yang bermakna Tauhid. I.J Satyabudi, seorang penulis Kristen, mengakui: “Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.”
Bukan hanya itu. Rumusan sila kedua dari Pancasila (Kemanusiaan yang adil dan beradab) juga berhasil diamankan dari pandangan-dunia sekular. Jika sebelumnya, dalam sidang BPUPK, Soekarno dan M. Yamin mengusulkan rumusan ”Peri-kemanusiaan” dalam Pancasila, maka para tokoh Islam di Panitia Sembilan, yaitu KH Wahid Hasjim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakkir, berhasil memasukkan dua kata kunci dalam Islam, yaitu kata adil dan adab dalam rumusan sila kedua tersebut. Dua kata itu merupakan istilah kunci dalam Islam (Islamic basic vocabulary) dan hanya bisa dimaknai dengan tepat jika merujuk kepada makna yang ada dalam kosa kata Islam. Dalam buku ini, diuraikan secara panjang lebar bagaimana makna dua istilah itu dalam Islam, dengan merujuk terutama pada pendapat KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan Prof. Syed Muhammad Naquiob al-Attas.
Bagaimana Islam memandang Pancasila? Prof. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang juga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, memberikan pandangan lugas: “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.”
Pada akhirnya, Prof. Kasman mengingatkan, bahwa yang lebih menentukan adalah kenyataan di lapangan. Jika umat Islam menginginkan Islam tegak di bumi Indonesia, maka mereka harus berjuang keras melaksanakan dakwah di dalam realitas kehidupan. Jauh sebelum penjajah Kristen datang ke Nusantara, Islam telah dipeluk oleh mayoritas penduduk di Kepulauan Nusantara. Islam telah menjadi pandangan dunia yang dominan di wilayah ini. Meskipun bukan sebuah rumusan formal dari sebuah konsep negara berdasarkan Islam, tetapi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak bisa dimaknai sembarangan sebagai konsep sekular dan netral agama yang ditujukan untuk menindas atau mengeliminasi hak-hak konstitusional umat Islam Indonesia.
Pada sisi lain, umat Islam Indonesia saat ini perlu memahami sejarahnya dengan baik, khususnya sejarah perjuangan para pejuang Islam, baik sebelum masa kemerdekaan maupun masa sesudahnya. Para pejuang itu telah mengalami dinamika perjuangan yang keras dan panjang yang kemudian menemukan titik solusi dan kompromi pada tataran realitas perjuangan. Upaya untuk menegakkan Islam di Indonesia telah dilakukan oleh generasi demi generasi yang datang silih berganti. Hasil-hasil perjuangan mereka harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Di negara Indonesia saat ini, dengan dasar Pancasila – sebagaimana dirumuskan dan dipahamkan oleh para tokoh Islam pendiri NKRI -- begitu luas tersedia ruang untuk berjuang. Umat Islam leluasa sekali membuat sekolah Islam, radio Islam, TV Islam, rumah sakit Islam, Bank Islam, dan sebagainya. Jangan sampai ada seorang yang karena tidak mampu mengelola sekolahnya dengan baik, lalu menyatakan, bahwa sekolahnya gagal karena Indonesia bukan merupakan negara Islam.
Itulah Pancasila dengan berbagai ragam dan kontroversi sepanjang sejarahnya yang diungkapkan secara menarik dalam buku karya Dr. Adian Husaini ini. Silakan baca dan renungkan secara mendalam isi buku ini! Buku ini membuktikan bahwa ternyata masih banyak yang perlu digali dan dipelajari dari khazanah sejarah perjuangan Islam di Indonesia. Buku ini juga membawa pesan penting: tidak patut ada yang merasa seolah-olah selama ini belum pernah ada orang atau kelompok yang memperjuangkan Islam secara sungguh-sungguh di Indonesia; dan sekarang, barulah dia atau kelompoknya saja yang benar-benar memperjuangkan Islam secara sungguh-sungguh di Indonesia. Anggapan semacam itu tentu saja keliru.
Maka, belajarlah dari sejarah dengan sungguh-sungguh. Pelajari bagaimana para pejuang Islam dulu telah berjuang selama ratusan tahun di Indonesia, agar cita-cita yang tinggi dan mulia tidak berujung pada kegagalan. Tidak patut seorang mukmin disengat ular pada lobang yang sama! Untuk itu, bacalah buku Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Baca dulu, baru bicara! Wallahu a’lam bish-shawab.

Read More......

Sabtu, 15 Agustus 2009

MUI Se-Jawa dan Lampung Desak "The Master" Dihentikan


Hipnotis dengan menggunakan bantuan jin atau setan, hukumnya jelas haram karena termasuk kategori sihir, ujar MUI.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Jawa dan Lampung mendesak pihak-pihak terkait, terutama penanggungjawab acara di televisi, untuk segera menghentikan tayangan "The Master" atau acara sejenis seperti "Master Mentalist" dan "Master Hipnotis".

Ketua Komisi Fatwa, Komisi C KH Syafe’i usai Rakor MUI se-Jawa dan Lampung, Rabu, mengatakan, salah satu rekomendasi dalam rakor tersebut mendesak semua pihak, terutama penanggungjawab acara di televisi segera menghentikan tayangan "The Master" dan sejenisnya karena termasuk perbuatan hipnotis yang merusak ketauhidan dan akidah umat Islam. "Hipnotis yang murni saintifik (ilmiah) tanpa menggunakan bantuan jin dan mantera, hukum asalnya adalah jawaz (boleh) tergantung pada penggunaannya. Sedangkan yang menggunakan bantuan setan dan jin adalah haram," katanya.

Oleh sebab itu, kata dia, rakor MUI se-Jawa dan Lampung tersebut mengeluarkan fatwa hipnotis dengan menggunakan bantuan jin atau setan, hukumnya jelas haram karena termasuk kategori sihir. Sedangkan hipnotis yang murni saintifik (ilmiah), tanpa menggunakan bantuan jin dan mantera, maka hukum asalnya adalah dibolehkan tergantung pada penggunaannya.

Namun karena penggunaannya lebih banyak untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan pada Allah SWT, seperti penipuan, perampasan, dan menimbang sisi madharatnya lebih banyak dari sisi manfaatnya, maka hukum hipnotis adalah haram.

Ia mengatakan, rekomendasi tersebut akan disampaikan kepada MUI Pusat dan pihak-pihak terkait supaya tayangan-tayangan yang berbau hipnotis dan sihir itu segera dihentikan, karena bertentangan dengan syariah Islam dan merusak akidah, serta sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Menurut Syafe'i, MUI menimbang bahwa hipnotis serta hal-hal lain yang sejenis akhir-akhir ini semakin merebak dengan bebas dan tersiar secara luas di tengah-tengah masyarakat, baik melalui media cetak dan elektronik maupun dalam bentuk perbuatan nyata. [ant/www.hidayatullah.com]

Acara The Master Haram

SETELAH situs jejaring pertemanan Facebook, kali ini giliran tayangan televisi The Master diharamkan oleh sejumlah pemimpin pondok pesantren di Jawa Timur.

Fatwa pengharaman acara atraksi yang mirip sulap dan debus di sebuah stasiun TV swasta tersebut merupakan hasil dari pembahasan masalah atau bahtsul masail yang digelar di Pondok Pesantren Abu Dzarrin di Kendal, Kecamatan Dander, Bojonegoro.

Bahtsul masail itu sengaja digelar untuk menyikapi tayangan The Master yang digandrungi oleh sebagian besar pemirsa televisi Indonesia. Acara yang pada sesi terakhirnya menampilkan adu ketangkasan antara Master Joe Sandi dan Master Limbad itu dianggap menyesatkan karena menampilkan atraksi-atraksi di luar taraf kekuatan manusia biasa.
Bahtsul masail yang digelar dalam rangka haul KH Dimyati Adnan ke-19 dan KHA Munir Adnan ke-7 itu diikuti oleh sejumlah perwakilan dari beberapa pondok pesantren. Di antaranya dari Pondok Abu Dzarrin, pondok Al Fatimah (Bojonegoro), Pondok Lirboyo (Kediri), Tanggir (Tuban), Sidogiri (Pasuruan), Langitan (Tuban), Pondok Gilang (Lamongan), dan Al-Khozini (Sidoarjo).

Khoirul Rozi, koordinator pertemuan itu, mengatakan bahwa bahtsul masail memutuskan bahwa tontonan The Master hukumnya haram. Oleh karena itu, warga masyarakat juga diharamkan menontonnya.

Alasan pengharaman, kata Khoirul, karena tontonan itu diduga melibatkan makhluk halus. ”Atraksi yang dipertunjukkan dalam acara tersebut diduga kuat atas bantuan jin atau jenis makhluk halus lainnya,” katanya, kemarin.
Apa yang dipertontonkan di The Master sangat tidak masuk akal dan di luar batas kemampuan manusia pada umumnya. ”Masak orang ditusuk benda tajam atau disetrum listrik berdaya tinggi tidak apa-apa?” ujar Khoirul. ”Diduga kuat, atraksi itu atas bantuan makhluk halus,” tambahnya.

Oleh karena itu, bahtsul masail memutuskan tayangan tersebut haram lantaran memercayai kekuatan lain selain Allah. Yang melihat acara itu juga berdosa karena ikut merasa senang atau ikut memercayai kekuatan jin atau makhluk halus lain yang diduga membantu dalam atraksi.

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, pada halaman 298-299, diterangkan bahwa pertunjukan semacam itu dikategorikan sebagai sihir yang hukumnya haram. Kecuali, The Master masuk dalam kategori `petunjuk dari Allah`, barulah itu diperbolehkan. Itu pun dengan catatan jika yang melakukannya adalah orang yang teguh memegang agama dan dengan tujuan yang sesuai syariat Islam serta tidak membahayakan orang lain.
Mengenai penonton The Master yang juga dihukumi haram, alasannya adalah orang yang menonton tayangan itu tergolong tafarruj bil ma’ashi atau merasa senang dengan adanya kemungkaran. Selain itu, bercampurnya lelaki dan perempuan bukan muhrim dalam acara tersebut juga merupakan sebuah kemaksiatan.

Menanggapi pernyataan bahwa tayangan The Master haram, pejabat Humas RCTI Hafni Damayanti mengatakan, jika para kiai itu menduga ada unsur mistik atau pelibatan makhluk halus dalam The Master, dugaan tersebut tak tepat.

Hafni menjamin tidak ada kaitannya The Master dengan mantra ataupun makhluk halus karena itu semua merupakan trik-trik para pemainnya.

”Tidak ada sama sekali mantra-mantra yang dilakukan para master. Untuk membuktikannya silakan Pak Kiai menonton tayangan itu secara langsung sehingga akan mengetahui bagaimana para pemain melakukan trik-trik,” katanya.

Menurut Hafni, apa yang dilakukan para master seperti Limbad yang tak mengalami luka sedikit pun pada saat ditusuk ataupun tidak apa-apa ketika disengat listrik, semuanya murni karena trik. (Surya/tat/yus)
Read More......

8 Hal Yang Perlu di Perhatikan Muslimah

kebanyakan saudari muslimah secara tidak sadar atau karena belum tahu hukumnya dalam islam, melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat islam. Hal-hal yang dilarang keras bahkan pelakunya diancam siksaan yang pedih. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan dan peringatan serta balasan atas perbuatan yang dilakukan.

1. Kewajiban memakai Jilbab
Masih saja ada yang menanyakan(menyangsikan) kewajiban berjilbab. Padahal dasar hukumnya sudah jelas yaitu:
* Surat Al-Ahzab ayat 59 (33:59)

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan hijab keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebihi mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

* Surat An-Nuur: ayat 31 (24:31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanny, kecuali yang biasa tampak padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putri mereka atau putra-putri suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau buda-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung ”

“(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (An-Nuur:1)

Ayat pertama Surat An-Nuur yang mendahului ayat-ayat yang lain. Yang berarti hukum-hukum yang berada di surat itu wajib hukumnya.

* Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya:
“Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”

* Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”

* Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya :
“Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”

* Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam:
“Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

Masihkah menyangsikan kewajiban mamakai Jilbab?

2. Menggunjing, Gosip = Ghibah
Maaf saudari muslimah, ini juga sangat2 sering dilakukan tanpa sadar. Begitu saja terjadi dan tiak terasa bahwa itu salah satu dosa, karena begitu biasanya. Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah berikut ini:

“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman:

” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

3. Menjaga Suara
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Sebagai muslimah harus menjaga suara saat berbicara dalam batas kewajaran bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Wallahu a’lam

4. Mencukur alis mata
Abdullah bin Mas'ud RadhiyAllohu 'anhu, dia berkata :

"Alloh Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Alloh".

Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik- baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.

5. Memakai Wangi-wangian
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:

“Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam:

“Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah).

Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :

Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133).

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata :

“Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).

Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37

“Bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan”.

Selanjutnya tentang pakaian seorang muslimah. Fenomena jilbab sangat bagus saat ini, tetapi sangat disayangkan dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang disyariatkan, jilbab gaul istilahnya.


6. Memakai Pakaian transparan dan membentuk tubuh/ketat

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda :

“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” (At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).


Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR.Muslim).


Ibnu Abdil Barr berkata :
“Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” ( Tanwirul Hawalik III/103).


Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata :

“Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).


Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda :

“Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).


Aisyah pernah berkata:
” Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71).


Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya :
Baju, khimar dan milhafah (mantel)” (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).


7. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Laki-laki

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata:

“Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).


Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200)

Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda :
“Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”


Dalam lafadz lain :
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274).

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).

Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

8. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Wanita Kafir

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya :

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik(Al-Hadid:16).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya:
“Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).

Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-baqarah:104).

Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek.

Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.
Read More......

Izinkan Kami Menata Ulang Peradaban!

Sejarah telah mengubur dalam-dalam puing reruntuhan Sosialisme-Komunisme. Ideologi yang diusung Karl Marx, Lenin, Stalin dan kawan-kawannya itu telah terbukti gagal menyejahterakan manusia bersamaan dengan bubarnya adidaya Uni Soviet yang pecah menjadi serpihan tak bernilai. Dan sepertinya wajar saja jika ide-ide mereka tak lagi diminati sebab memang tak bisa memberi solusi. Kalaupun ada geliat bangkitnya paham kiri ini, maka itu tak lain hanyalah riak kecil saja.

Lantas, dengan sistem apakah dunia menapaki hari-harinya? Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History menyatakan bahwa sejarah telah berakhir. Dan demokrasi dengan kapitalisme-nyalah yang menjadi pemenang. Namun, benarkah tesisnya itu? Yang jelas, Jeremy Seabrook menampik hal tersebut. Ia menganggap kapitalisme yang merupakan saudara dekat liberalisme itu sebagai biang kerok kemiskinan global. “Apakah ekonomi melayani umat manusia, ataukah kemanusiaan telah ditindas untuk melayani ekonomi?” demikian tulisnya dalam Kemiskinan Global; Kegagalan Ekonomi Model Neoliberalisme.

Pernyataannya itupun didukung begitu banyak fakta yang mengindikasikan semakin dekatnya kehancuran kapitalisme. Lihat saja begitu jauhnya jurang kesenjangan kaya-miskin. Menurut Hammer (1994: 16), pada saat ini 20% penduduk dunia (The Club of Rich) menguasai 83% kekayaan dunia, mengendalikan 81% perdagangan dunia dan mendapat 81% hasil investasi, sembari menikmati 70% energi, 85% persediaan kayu dunia dan 60% pangan. Perbandingan kekayaan 20% penduduk terkaya dunia dengan 20% penduduk termiskin dunia adalah 60 berbanding 1. Data lain mengemukakan bahwa tren kemiskinan semakin memburuk. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar per hari meningkat menjadi 1,214 miliar jiwa (20% penduduk dunia). Selain itu, 1,6 miliar jiwa (25% penduduk dunia) lainnya hidup antara 1-2 dolar sehari.(The United Nations Human Development Report, 1999).

Indonesia pun tak jauh beda. Walaupun mengaku bermazhab ekonomi Pancasila, tetap saja kiblatnya adalah kapitalisme. Konglomerat tak beradab dan pihak asing dilayani dengan istimewa oleh pemerintah. Aset-aset strategis diobral murah. Termasuk yang jelas-jelas menguasai hajat hidup orang banyak-yang notabene harus dikelola negara berdasarkan UUD 1945- diprivatisasi tanpa merasa berdosa. Mungkin sebentar lagi, pemerintah juga akan menjual pulau-pulau di nusantara untuk melunasi utang berbunga ‘lunak’ dari IMF. Data Susenas yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik pada Maret 2005 menunjukkan jumlah orang miskin mencapai 39,05 juta orang atau 17,5% penduduk Indonesia. Ya wajar saja, lha wong harga-harga pada membumbung tinggi, upah nggak naik juga, celetuk seorang ibu.

Belum lagi jika kita melihat tingkat pengangguran yang selalu meningkat tajam, kelaparan yang menjadi tradisi rutin dan pendidikan yang selalu diagungkan tapi tak pernah dipedulikan. Masalah buruh belum selesai, lebih sedih lagi menyapa generasi muda yang terkena bias budaya ekstravaganza. Sikap hedonis yang didesain pemahaman liberal membuat mereka menjadi free thinker dan telah menuai hasil. Hasil penelitian LSCK PUSBIH di Yogyakarta memperlihatkan bahwa 97,05% mahasiswi di kota pelajar itu telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Parahnya, semua responden mengaku semua itu dilakukan tanpa ada paksaan alias atas dasar suka sama suka. So, have fun aja. Begitu mungkin pikir mereka. Dalam sebuah seminar yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur di FISIP Universitas Airlangga, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ketika itu Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat. Tetapi peningkatan itu bukan disebabkan oleh pemerkosaan melainkan karena suka sama suka alias free sex. Bahkan di Surabaya ada 6 dari 10 gadis yang sudah tidak perawan lagi.

Peredaran narkoba pun tak terbendung. Pada tahun 2000 lalu, tercatat ada 4 juta pengguna narkoba di seantero Indonesia. Dari jumlah itu, 70% di antaranya adalah anak usia sekolah, 14-20 tahun. Na’udzubillah.

Islam, Sebuah Solusi

Kalau Anda seorang muslim, maka tak perlu pusing mencari solusi. Sebab, dien ini sudah sempurna dan mengatur segenap aspek hidup. Tak percaya? Simak saja surah Al-Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Masalahnya, kita belum konsisten melaksanakan syariah. Mayoritas umat Islam hanya mau mengambil Islam setengah-setengah. Yang mahdhah (ritual) saja, tidak yang muamalah (sosial). Mereka mengikuti langkah syaithan dengan tidak menjalankan Islam dengan kaffah (menyeluruh) sebagaimana diinstruksikan Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah:208. Padahal Rasulullah Muhammad Saw. telah membuktikan bagaimana ia membangun kegemilangan peradaban dengan tuntunan wahyu (Al-Qur’an). Mendirikan sebuah Imperium besar tak tertandingi yang diteruskan khulafa al rasyidin hingga akhirnya diruntuhkan dengan kepicikan Mustafa Kemal Pasha di masa Daulah Utsmaniyyah pada tahun 1924.

Lihatlah sistem ekonomi non-ribawi yang menentramkan dan memberdayakan. Semuanya untuk kemaslahatan rakyat. Mulai dari konsep zakat, infaq, shadaqah, fidyah, dam, wakaf dan sejenisnya. Sampai-sampai di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, amil-amil zakat berkeliling benua Afrika untuk mencari fakir miskin yang berhak menerima zakat, namun tak ditemukan. Sistem politik Islam juga begitu mengagumkan. Sistem yang jujur tak pernah menipu seperti demokrasi lipstiknya barat. Demokrasi barat tak pernah meridhai kemenangan kelompok Islam meskipun demokratis seperti FIS di Aljazair dan HAMAS di Palestina karena dianggap akan menghancurkan demokrasi itu sendiri, tetapi Islam sesungguhnya tak pernah memusingkan bentuk negara. Yang penting, apakah negara tersebut dapat berperan sebagai instrumen penegak syariah Allah atau tidak. Demikian Anis Matta dalam pandangan Suherman, M.Si (Rekonstruksi Politik Kaum Muslim: Studi Interpretatif atas Pemikiran H.M. Anis Matta).

Bukti lain jayanya Islam di masa lampau adalah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan. Pencapaian prestasi gemilang itu tercermin dari lahirnya par ilmuwan semisal Al Biruni (fisika, kedokteran), Jabir Haiyan (kimia), Al-Khawarizmi (matematika), Al Kindi (filsafat), Ibnu Khaldun (politik, sosiologi), Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Rusyd (filsafat) dan masih banyak nama lain lagi. Bahkan bangsa Eropa mengenal kebiasaan mandi dan membuat jamban setelah belajar dari umat Islam yang kala itu persebarannya sudah sampai ke Andalusia.

Ilmuwan barat sendiri mengakui secara jujur kebenaran hal itu. “Sepanjang masa kekhalifahan Islam, para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya; menyediakan peluang kepada siapapun yang membutuhkan; memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah mereka; menjadikan pendidikan menyebar luas hingga ilmi, sastra, filsafat dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang membuat Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durrant, Story of Civillization). Sekarang, tinggal kita ubah paradigma berpikir. Kita harus kaffah berIslam. Juga meninggalkan hukum thagut yang menjauhkan umat ini dari rahmat Allah dan menggantinya dengan Islam yang jelas-jelas merupakan rahmat bagi semesta. “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumya selain Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Maidah:50) Al-Ghuraba’, Generasi Perubah

Saat mayoritas anak muda shopping di mall atau mejeng di jalanan, mereka asyik beraktivitas di sudut-sudut masjid. Ketika sudah banyak muda-mudi yang terjerumus ke lembah hitam seks bebas, mereka bahkan mengharamkan pacaran, karena merupakan bentuk lain dari mendekati zina. Di kala kaum hawa zaman kiwari ini berbusana begitu terbuka tanpa batas, mereka menutup rapat-rapat auratnya dengan jilbab rapi hingga seluruh tubuh. Kalau kebanyakan anak lelaki sudah biasa nyabu, maka mereka merokok pun tidak.

Muhammad Fathi menuliskan, “Merekalah generasi yang keislamannya tidak hanya sebatas shalat, shaum dan dzikir. Namun, generasi yang dadanya bergejolak saat kesucian agama dihinakan. Hatinya meleleh, bersedih dengan setiap kelemahan jiwa padahal ia masih bisa bernafas. Generasi yang tidak menyia-nyiakan usianya begitu saja, namun mengubahnya menjadi kekuatan dahsyat untuk sebuah karya.”(The Power of Youth)

Merekalah yang Allah janjikan dalam QS. Al-Maidah:54, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Merekalah generasi baru (jiilun jadid) yang dinubuwatkan Rasulullah, “Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaanya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing (ghuraba’). Merekalah orang-orang yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”(HR. Ahmad)

Merekalah yang akan mengubah dunia dengan tuntunan wahyu, berakidah salim, beribadah shahih, berakhlak kokoh. Dengan tarbiyah (pembinaan) dan tashfiyah (pemurnian) mereka akan memimpin peradaban dan menyelamatkan manusia dari adzab ketika berpaling dari syariah, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha:124).

Penulis : Anugrah Roby Syahputra, Alumnus PRODIP STAN Medan
Read More......

Pemuda Peradaban

Merupakan realitas yang tak terbantahkan bahwa kaum muda senantiasa memainkan peran signifikan dalam setiap simpangan sejarah kebangkitan peradaban. Demikian pula sejarah kebangkitan Islam generasi awal menceritakan kepahlawanan kaum muda seperti apresiasi Sang Rasul dalam sabdanya:
“Ketika Allah mengutus diriku untuk menyampaikan agama yang bijak ini, maka kaum muda-lah yang pertama-tama menyambut dakwahku, sedang kaum tua menentangku.” (Hadits)

Fakta sejarah bercerita bahwa para sahabat kader inti Sang Rasul masuk islam dan menjadi pejuang sejak belia, misalkan Ali bin Abi Thalib sejak usia 8 tahun, Zubair bin Awwam sejak usia 8 tahun, Arqam bin Abi Arqam berusia 16 tahun, Ja’far bin Abi Thalib sejak usia 8 tahun, Shuhaib Ar Rumy sejak usia 19 tahun, Zaid bin Haritsah sejak 20 tahun, Sa’ad bin Abi Waqqash sejak usia 17 tahun, Utsman bin Affan sejak usia 17 tahun, Umar bin Khattab sejak usia 27 tahun, dan Usamah bin Zaid diangkat sebagai panglima perang kaum muslimin dalam usia 18 tahun.

Mereka adalah kaum muda belia yang kedewasaannya jauh meninggalkan umurnya dan pemikirannya jauh meninggalkan zamannya. Maka para pemuda kaum penggembala kambing itu tiba-tiba muncul menggoncang dunia dan memimpin peradaban. Merekalah generasi Al Qur’an yang unik dan layak disebut pemuda peradaban!!!

Demikian pula di negeri indah bernama Indonesia. Berbagai simpangan sejarah negeri ini menempatkan pemuda dalam posisi terhormat sebagai pahlawan. Mereka berperan besar dalam peristiwa berdirinya SDI (Syarikat Dagang Islam) tahun 1905, Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi NKRI 1945, Tritura 1965, perjuangan reformasi 1998, dsb.

Di tengah krisis multidimensi yang tak henti menghantam negeri ini, harapan kebangkitan pemuda kembali bergelora. Saatnya kaum muda tampil menunaikan tanggung jawab kesejarahan untuk menjadi pahlawan zaman ini, menghantar Indonesia menjadi guru peradaban (ustadziyyatul ‘alam).

Seandainya ada yang bertanya, “Siapakah pemuda peradaban itu?”

Jangan ragu untuk menjawab, “Insya Allah, Pemuda peradaban itu adalah kita!!!”

Ya, kita: Saya dan Anda!!!

Read More......

Kepedulian

Dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.” (HR At-Tabrani)

Hadits ini banyak diriwayatkan oleh ahli hadits dengan lafadz dan sanad yang berbeda. Dan dari semua sanad yang berbeda, para ulama hadits mempermasalahkan keshahihannya. Tetapi para ulama sepakat bahwa secara lafadz dan makna hadits ini adalah benar dan tidak bertentangan dengan nilai Islam yang universal. Secara makna hadits ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang terkait dengan ukhuwah Islamiyah, baik yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Al-Hujuraat: 10)

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ukhuwah

Ihtimam atau kepedulian, perhatian dan keprihatian kepada nasib umat Islam adalah kata kunci dari ukhuwah Islam. Kepedulian menunjukkan kepekaan hati dan jiwa yang hidup sehingga ketika melihat saudaranya menderita, terzhalimi dan sakit, maka ia akan merasakan apa yang dialami saudaranya. Kemudian berupaya sekuat tenaga memberikan bantuan yang bisa dilakukan.

Tiada ukhuwah tanpa kepedulian. Dan ukhuwah merupakan bukti dari keimanan seseorang. “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara….” (Al-Hujuraat 10).

Husnuzhon

Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah husnudzon (berbaik sangka) atau bersih hati (salamatul qalb) dan tidak melukai hati saudaranya. Firman Allah Ta’ala, ”….dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan An-Nasai, Anas bin Malik r.a. berkata, ketika kami sedang bersama Rasulullah saw., beliau bersabda, “Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka muncullah seorang dari Anshar, janggutnya basah bekas wudhu dan tangan kirinya membawa sandal. Keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata lagi, “Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka datanglah lelaki itu dalam kondisi seperti kemarin. Keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata seperti kemarin. Dan muncullah lelaki itu. Maka tatkala lelaki itu bangun, Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, ”Saya berselisih dengan ayahku dan berjanji tidak masuk kerumahnya tiga hari. Jika anda membolehkan saya tinggal di rumahmu sampai janjiku selesai, maka aku akan lakukan.” Maka lelaki itu berkata, ”Boleh.”

Berkata Anas, ”Abdullah tidur di rumahnya. Di malam pertama, tidak melihatnya sholat malam, kecuali ketika dia akan tidur melakukan dzikir dan takbir sampai bangun untuk shalat Shubuh. Saya tidak mendengarnya berkata kecuali yang baik-baik. Ketika sudah lewat tiga hari, saya hampir meremehkan amalnya dan berkata: ”Wahai Abdullah, sesungguhnya aku tidak berselisih dan bermusuhan dengan ayahku, tetapi aku mendengar Rasulullah saw. berkata tentangmu tiga kali dalam tiga majelis, bahwa akan datang kepada kalian seorang penghuni surga. Maka muncullah Anda tiga kali. Saya ingin tinggal di rumah Anda dan melihat amal Anda. Tetapi saya melihatnya biasa saja. Ketika aku hendak pergi, dia memanggilnya dan berkata, ”Apa yang aku lakukan seperti yang Anda lihat, lebih dari itu, saya tidak pernah dengki pada seorangpun dari umat Islam, tidak hasad atas kebaikan yang Allah berikan kepada mereka.” Maka berkata Abdullah bin Amru padanya, ”Inilah yang telah mengantarkan Anda (pada derajat yang tinggi, sehingga sudah mendapat jaminan masuk surga dari Rasululah saw.), dan ini yang kami belum mampu.”

Mencintai untuk Saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya

Tingkatan ukhuwah pertengahan adalah merasakan apa yang dirasakan saudaranya, mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itsaar

Tingkatan ukhuwah tertinggi adalah itsaar, atau mengutamakan saudaranya atas diri sendiri dalam masalah keduniaan. “….mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….” (Al-Hasyr: 9)

Kaum Anshar adalah kelompok sahabat yang diabadikan Al-Qur’an karena sifat itsaarnya yang sangat dominan. Mereka di antaranya Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan istrinya. Disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih, dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung. Dalam hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim (Rumaisha binti Milhan). Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah satu porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.

Munthalaq Dakwah

Kepedulian juga merupakan titik tolak dan langkah awal dari dakwah. Seorang yang tidak peduli dan prihatin dengan kondisi umatnya tidak akan mungkin bergerak dan melangkah melakukan dakwah. Oleh karena itu ketika Abbas As-Sisi sedang berjalan dengan gurunya Imam Syahid Hasan Al-Banna, Abbas As-Sisi mendengar informasi bahwa Bosnia jatuh ke tangan orang kafir. Ia berkata, ”Saya prihatin dan sedih akan nasib umat Islam di Bosnia.” Maka dengan spontan Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan:” Anda telah mulai wahai Abbas”.

Sebelumnya pemimpin para nabi dan pemimpin seluruh umat manusia, Rasulullah Muhammad saw., ketika pertama mendapat risalah dakwah, beliau mengatakan, ”Habis sudah waktu untuk tidur, wahai Khadijah.” Habis sudah waktu untuk bermain-main dan senda gurau. Habis sudah waktu untuk bersenang-senang di tengah umat Islam yang sedang ditindas dan dibantai, di tengah umat Islam yang terbelakang, miskin, dan bodoh, di tengah umat Islam yang lalai dan larut dengan kemaksiatan. Habis sudah waktu untuk istirahat, rekreasi, dan tertawa-tawa di tengah umat Islam Palestina yang disembelih dan ditumpas habis oleh Zionis Yahudi. Habis sudah waktu untuk santai di tengah umat Islam Irak yang sedang dijajah dan diadu domba oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Demikianlah sikap yang mesti dimiliki oleh para pemimpin umat.

Dan ciri khas pemimpin sangat terkait dengan kepedulian terhadap umatnya. Kepedulian para pemimpin Islam terrefleksikan pada keinginan yang kuat untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan, bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Ketika rakyatnya menderita, miskin, tertindas, maka sikap seorang pemimpin adalah bagaimana bisa menyelamatkan rakyat dan bangsanya, bukan mencari kesempatan di atas kesempitan. Dan contoh kepedulian telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. dengan sempurna. Rasulullah saw. adalah manusia yang paling peduli, perhatian dan paling banyak berkorban untuk umatnya, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 128.

Rahmat

Ihtimam, ukhuwah, dan dakwah merupakan refleksi dari rahmat yang terpancar kepada umatnya. Dan Rasulullah saw. bukan hanya bersikap rahmat bagi umat Islam, umat manusia, bahkan rahmat bagi semesta alam. Betapa besarnya rasa kasih sayang Rasulullah saw. kepada manusia sehingga beliau menginginkan bahwa semuanya beriman kepada Allah dan beriman kepada ajaran Islam. Dengan demikian mereka akan terbebas dari penderitaan yang maha berat, yaitu bebas dari api neraka. Inilah risalah beliau yaitu mengajak manusia agar mereka memperoleh hidayah Islam.

Rasulullah saw. rela mengorbankan segala kesenangan dunia demi untuk menyelamatkan umat manusia. Jika malam hari, beliau sangat khusyuk dan lama bermunjat kepada Allah swt. agar manusia terbebas dari pola hidup jahiliyah yang akan mengantarkan mereka kepada neraka. Dan jika siang hari Rasulullah saw. terus-menerus berdakwah dan berjihad untuk menyebarkan Islam kepada seluruh manusia. Dan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah ibadah, dakwah, dan kepedulian terhadap umatnya.

Kepedulian dan khidmah (pelayanan) adalah ciri khas pemimpin sejati dalam Islam. Sedangkan dalam manajemen modern, pelayanan atau service sangat diutamakan dan menempati posisi yang sangat penting. Maka bertemulah dua nilai yang saling mengokohkan, nilai Islam dan nilai-nilai universalitas modern. Dalam Islam ada kaidah yang bersumber dari salah satu riwayat hadits, berbunyi, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Majah)

Hadits ini menurut para ulama sanadnya lemah, tetapi karena riwayatnya banyak sehingga saling menguatkan dan dapat sampai ke derajat hasan lighairihi (baik). Tetapi, sekali lagi bahwa makna hadits ini benar dan Rasulullah saw. sendiri adalah contoh dalam pelayanan dan kepedulian terhadap umatnya. Dan hadits ini sangat tepat dengan manajemen kepemimpinan modern.

Kepedulian tampaknya mudah diucapkan, tetapi hakikatnya susah direalisasikan. Ini karena manusia pada umumnya sangat mencintai dirinya sendiri dan sangat mementingkan diri sendiri, apalagi jika terkait dengan harta dan segala macam kesenangan dunia. Kepedulian hanya dapat direalisasikan jika seseorang memiliki kedalaman iman kepada Allah swt. dan hari akhir, seseorang yang sangat mengharapkan ridha Allah swt. dan kehidupan hari akhirat. Sehingga mereka akan banyak memberi, berkorban, dan peduli terhadap yang lain. Begitulah yang terjadi pada diri Rasulullah saw., para sahabat, dan generasi salafus shalih.

Dan ciri khas dari kedalaman iman akan tercermin dari kekhusukan dalam beribadah kepada Allah swt. dan akhlak yang terpuji terhadap sesama manusia. (Al-Fath: 29)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Ust. Tate Qomaruddin, Lc
Read More......

Bahagia Karena Membahagiakan

Muslim yang hebat bukanlah yang serba tahu tentang aib orang lain kemudian menyebarkannya dengan penuh suka cita.
Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengenyahkan satu kedukaan dunia dari seorang Mukmin maka Allah mengenyahkan kedukaan darinya pada hari kiamat. Barangsiapa memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allah akan menutupi (aib)-Nya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hambanya selama ia menolong saudaranya." (H.R. Muslim)

Saat mensyarah (menjelaskan) hadis ini, Imam Nawawi menulis, "Ini merupakan hadis agung yang mencakup berbagai ilmu, kaidah, dan tatakrama." Dengan hadis ini kita mendapat penegasan bahwa Islam merupakan kasih sayang bagi sekalian alam (rahmatan lil-‘alamin), realistis, dan sangat peduli dan membela orang-orang lemah secara adil.

Orang-orang atheis menganggap agama sebagai candu (racun). Karena dalam dugaan mereka, agama –termasuk Islam—adalah ajaran yang meninabobokan. Orang-orang yang miskin disuruh bersabar karena nanti di hari akhirat akan mendapatkan kebahagiaan. Orang yang tertindas disuruh bersabar sebab nanti di hari akhirat orang yang melakukan penindasan akan dimasukkan ke neraka. Dalam pandangan orang-orang atheis, ajaran semacam ini adalah ajaran yang membuat orang menjadi fatalis, pasrah, dan bersikap "apa yang terjadi, terjadilah".

Jika mereka mengalamatkan tuduhan itu pada Islam, jelas salah. Karena sesungguhnya Islam bukanlah agama yang menolerir kezaliman di dunia, lebih-lebih atas nama kebahagiaan di hari akhirat. Islam juga bukan agama yang menjadikan kemelaratan sebagai parameter kemuliaan, baik di dunia tidak pula di akhirat kelak. Hadis ini justru memastikan bahwa di antara kelompok manusia yang akan mendapatkan kebahagian hakiki di akhirat kelak adalah orang yang rela berbagi, siap membantu, dan punya semangat mencari solusi. Dan bukannya orang-orang yang pasrah pada keadaan, putus asa, serta tidak memiliki keberdayaan. Bukan! Dan tentu saja hadis yang sedang kita kaji ini hanyalah secuil contoh dari keindahan Islam.

Ada banyak pelajaran penting yang dapat kita serap dari hadis di atas, antara lain:

Pertama, dalam kehidupan akan senantiasa ada orang yang mengalami nestapa, duka, dan kekurangan.
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Q.S. Az-Zukhruf 43: 32)

Keadaan seperti ini adalah peluang bagi orang-orang yang mendapatkan keleluasaan untuk beramal. Keadaan miskin dan kaya di mata Allah hanyalah ujian. Orang kaya dengan kekayaannya bisa masuk surga bisa pula masuk neraka. Orang miskin dengan kemiskinannya bisa masuk surga bisa pula masuk neraka.

Kedua, Islam mengakui dan menghargai kepemilikan pribadi.
Dalam hadis itu Rasulullah saw. tidak mengatakan bahwa harta orang kaya adalah otomatis milik bersama dengan orang miskin. Rasulullah saw. justru mengisyaratkan bahwa seseorang bisa berperan dengan apa yang ia miliki –termasuk hartanya. Dan kemudian karena perbuatannya itu ia mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di hari akhirat.

Untuk menghormati hasil jerih payah dan kepemilikan seseorang, Islam melarang mencuri dan menghukum pencuri dengan hukuman berat. Islam juga menilai orang yang mati dalam rangka mempertahankan hak miliknya sebagai syahid. Dan adanya kewajiban zakat, anjuran infak, dan sedekah adalah nyata-nyata menegaskan bahwa Allah tidak melarang manusia mempunyai harta, yang dilarang adalah rakus, kikir, dan menjadikan dunia sebagai tujuan.

Ketiga, kewajiban untuk memberi solusi, kemudahan, dan membantu adalah kewajiban seluruh Muslim. Namun, bagi pemimpin hal itu lebih wajib lagi. Rasulullah saw. telah memberi contoh untuk itu. Dalam sebuah hadis disebutkan,

"Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. guna mengadukan perihal kemelaratan yang dideritanya, lalu ia pulang. Maka Rasulullah saw. mengatakan kepadanya, ‘Pergilah hingga kamu mendapatkan sesuatu (untuk dijual).’ Orang itu lalu pergi dan pulang lagi (menghadap Rasulullah saw.) dengan membawa sehelai kain dan sebuah cangkir. Orang itu lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sebagian kain ini biasa digunakan keluarga saya sebagai alas dan sebagiannya lagi sebagai penutup tubuh. Sedangkan cangkir ini biasa mereka gunakan sebagai tempat minum.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga satu dirham?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. berkata lagi, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga lebih dari satu dirham.’ Seorang laki-laki mengatakan, ‘Aku akan membelinya dengan harga dua dirham.’ Rasulullah saw. berujar, ‘Kalau begitu kedua barang itu untuk kamu.’ Lalu Rasulullah saw. memanggil orang (yang menjual barang) itu seraya mengatakan, ‘Belilah kapak dengan satu dirham dan makanan untuk keluargamu dengan satu dirham.’ Orang itu kemudian melaksanakan perintah itu lalu datang lagi kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. memerintahkan kepadanya, ‘Pergilah ke lembah itu, dan janganlah kamu meninggalkan ranting atau duri atau kayu bakar. Dan janganlah kamu menemuiku selama lima belas hari.’ Maka orang itu pun pergi dan mendapatkan uang sepuluh dirham. Rasulullah saw. mengatakan, ‘Pergi dan belilah makanan untuk keluargamu dengan uang lima dirham.’ Orang itu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Allah telah memberikan barokah dalam apa yang kauperintahkan kepadaku.’" (H.R. Al Baihaqi)

Keempat, banyak cara yang dapat dilakukan untuk meringankan beban, mengenyahkan kesulitan, dan membantu orang lain. Jangan selalu dipahami bahwa membantu harus selalu dengah harta atau hal lain yang bersifat meterial. Kata-kata yang baik dan tepat bisa menjadi solusi yang lebih jitu ketimbang harta yang disedekahkan dengan cara menyakiti. Allah swt. berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun." (Q.S. Al Baqarah 2: 263)

Bahkan, ada orang yang merasa terbantu karena ada orang lain yang bersedia mendengarkannya saat dia curhat. Karenanya ada orang yang secara profesional menyiapkan diri sebagai tempat curhat.

Kelima, orang Muslim yang hebat bukanlah yang serba tahu tentang aib orang lain kemudian menyebarkannya dengan penuh suka cita. Orang yang hebat adalah orang yang mampu menjaga aib dan menutupi keburukan saudaranya. Pantang ia membicarakan keburukan saudaranya kecuali hanya untuk tujuan kemaslahatan. Betapa menyedihkannya orang yang berbahagia saat mendengar dan mengetahui keburukan dan kekurangan orang lain. Dan betapa busuknya orang yang senang melihat saudaranya jatuh martabatnya dan kehilangan keharuman namanya. Oleh karena itu, janganlah kita merasa bangga karena banyak orang yang melapor kepada kita tentang keburukan orang lain. Alih-alih bangga, kita harusnya merasa sedih. Karena jika setiap pembicaraan busuk disampaikan kepada kita, berarti kita dianggap tempat sampah. Tempat penampungan segala sesuatu yang busuk.

Keenam, kedahsyatan hari kiamat haruslah menjadi sesuatu yang kita takuti dan kemudian kita berusaha untuk melindungi diri dengan amal saleh. Allah swt. berfirman, "Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika)kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras." (Q.S. Al Hajj 1-2)

Jika kita mampu memberikan kebahagian pada saudara kita dan mengenyahkan kesulitan-kesulitannya di dunia, niscaya kita menjadi orang yang bahagia di hari akhirat. Orang yang paling bahagia adalah orang yang berhasil membahagiakan orang lain. Wallahu a’lam

Ust. Tate Qomaruddin, Lc
Read More......

Minggu, 09 Agustus 2009

Komitmen Seorang Muslim Pada Sisi Ibadah

Sebelumnya telah dibahas bagaimana komitmen seorang muslim pada sisi aqidah yang merupakan langkah awal agar diterimanya segala amal dan perbuatan manusia; baik zahir maupun batin, kecil atau besar, sedikit atau banyak dan langsung atau tidak langsung serta hanya sebatas niat atau perbuatan yang kongkret.

Dan untuk melengkapi hidup seorang muslim, setelah mengikrarkan diri beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan komitmennya maka komitmen kedua yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan adalah komitmen pada sisi ibadah

Ibadah di dalam Islam merupakan puncak sifat kepatuhan dan kerendahan diri dihadapan Allah sebagaimana ia juga merupakan puncak perasaan keagungan Allah sebagai Zat yang patut disembah dan diimani. Ia menjadi anak tangga pertalian di antara hamba dengan Tuhannya. Ibadah ini juga memberi kesan yang mendalam di dalam menjalin hubungan yang erat manusia dengan sang Khalik (Allah SWT) dan juga menjalin hubungan yang harmonis dengan makhluk lainnya.

Begitu juga dengan ibadah-ibadah dalam rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji
serta amalan-amalan lainnya yang dilaksanakan untuk mendapat keridhaan Allah SWT dan dalam mengamalkan Syariat-Nya adalah termasuk dalam pengertian ibadah.

Bertitik tolak dari pengertian inilah Islam menetapkan supaya seluruh hidup manusia dipelihara agar menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT seperti yang dinyatakan oleh Allah:

“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadah kepada-Ku. Aku tidak sekali-kali menghendaki rezki pemberian dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah, Dialah saja Yang Memberi rezki (kepada sekalian makhluk-Nya, dan Dialah saja) Yang Mempunyai Kekuasaan yang tidak terhingga, lagi Yang Maha Kuat Kokoh kekuasaan-Nya”. (Adz-Dzariyat :56-58)

Allah juga berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”. (Al-An’am:162)

Jadi apa komitmen seorang muslim yang harus dipegang teguh???

Paling tidak ada beberapa hal komitmen seorang muslim yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan ibadah, sehingga dengan ini menjadi langkah untuk menggapai ridha Allah SWT:

1- Memastikan diri bahwa ibadah yang dilakukan mempunyai hubungan dengan Allah yang disembah. Inilah apa yang dikatakan dengan tingkatan “keihsanan dalam ibadah”. Rasulullah saw sendiri pernah ditanya (oleh malaikat Jibril) tentang tingkatan”ihsan” ini, lalu baginda menjawab:

“Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya (sedikitpun) maka yakinlah bahwa Allah melihat engkau” (Muttafaqun ‘Alaih).

2- Memastikan diri bahwa ibadah yang dilakukan penuh kekhusyu’an sehingga dapat merasakan kenikmatan, kelezatan dan manisnya ibadah serta mendatangkan kekuatan ke dalam dirinya sehingga berkelanjutan mengerjakannya.

Aisyah ra pernah berkata:

“Adalah Rasulullah saw berbicara dengan kami dan kami juga berbicara dengannya tetapi bila tiba saja waktu shalat ia seolah-olah tidak mengenali kami dan kami pula tidak mengenalinya.” (Hadits diriwayatkan oleh Al-Azdi)

Kekhusyu’an inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw:

“Betapa banyak orang yang mengerjakan shalat, namun tidak diterima kecuali hanyalah rasa penat dan lelah belaka”. (An-Nasa’i)

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh ganjaran apa-apa kecuali lapar dan dahaga”. (An-Nasa’I dan Ibn Majah dari Abu Hurairah)

3- Memastikan diri bahwa dalam beribadah, hati dan jiwanya merasakan kehadiran Allah, membuang dan melupakan kesibukan dunia dan hiruk-pikuknya.

Beribadah dalam keadaan seperti inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Allah SWT tidak memandang kepada shalat seseorang yang mengerjakan tanpa kehadiran hati beserta gerak badannya.” (Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Mansur Ad-Dailami dalam “Musnad Al- Firdaus” daripada Ubayy Ibn. Ka’ab dan sanadnya da’if.)

Seorang ulama berkata:

“Shalat itu adalah urusan akhirat, maka ketika masuk menunaikannya (berarti) Anda telah keluar dari dunia.”

Al-Hassan Al-Basri meriwayatkan:

“Setiap shalat yang tidak disertai kehadiran hati, maka ia adalah lebih hanya sekadar siksaan.”

4- Memastikan diri bahwa ibadah yang dilakukan dalam keadaan senantiasa ingin menambahnya, tidak merasa cukup dengan yang ritual dan wajib saja. Namun berambisi untuk menambahnya dengan amalan-amalan sunnah sebagai mengikuti seruan Allah, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits qudsi:

“Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku (wali-Ku), maka Aku mengisyaratkan perang terhadapnya. Tidak ada satu perbuatan mendekatkan diri seorang hamba (taqarrub) kepada Aku yang lebih Aku cintai selain daripada kewajiban-kewajiban yang Aku fardhukan ke atasnya. Dan hamba-Ku akan terus beramal mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku sudah mencintainya maka Aku (menjadikan) pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia menggenggam dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia memohon sesuatu dari Aku niscaya Aku memberinya. Dan jika dia memohon perlindungan Aku (dari sesuatu) niscaya Aku akan melindunginya. Aku tidak pernah ragu dari sesuatu yang Aku lakukan seperti Aku ragu (hendak mengambil) nyawa hamba-Ku yang Mukmin, di mana dia membenci maut sedang Aku tidak menyakitinya.” (Al-Bukhari)

5- Berusaha menunaikan ibadah qiyamullail (shalat malam) serta melatih diri melakukannya sehingga ia menjadi satu kebiasaan. Hal ini adalah karena qiyamullail adalah sumber kekuatan yang memantapkan iman. Sebagaimana firman Allah:

“Sebenarnya shalat dan ibadah malam lebih kuat kesannya (kepada jiwa) dan lebih mantap bacaannya”. (Al-Muzammil:6)

Dan Allah SWT juga menerangkan sifat hamba-hambanya yang mukmin:

“Mereka senantiasa mengambil waktu sedikit saja: Masa dari waktu malam, untuk mereka tidur. Dan pada waktu akhir malam (sebelum fajar) pula, mereka selalu beristighfar kepada Allah (memohon ampun)“. (Adz-dzariat:17-18)

Allah juga berfirman:

“Mereka merenggangkan diri dari tempat tidur, (sedikit tidur, karena mengerjakan shalat tahajjud dan amal-amal shalih); mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan mereka dengan perasaan takut (akan kemurkaan-Nya) serta dengan perasaan ingin memperoleh (keridhaan-Nya) dan mereka selalu pula mendermakan sebahagian dari apa yang Kami beri kepada mereka”. (As-Sajdah:16)

Di antara amalan-amalan sunnah yang dikerjakan selain qiyamulail adalah shalat Dhuha, shalat tarawih, puasa pada hari senin dan Kamis, puasa pada Hari Arafah, puasa pada Hari Asyura’, puasa enam hari dalam bulan Syawal, tiga hari di setiap pertengahan bulan hijriyah (13,14 dan 15) dan beri’ktikaf di masjid dan lain sebagainya.

6- Senantiasa meluangkan waktu tertentu untuk membaca Al-Quran dengan cara merenungi maksud dan makna-maknanya terutama pada waktu menjelang subuh karena Allah berfirman:

“Dirikanlah olehmu shalat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam, dan (dirikanlah) shalat subuh sesungguhnya shalat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. (Al-Isra’ :78).

Membacanya dengan penuh tadabbur tafakkur dan tadzakkur, merenunginya dengan khusyuk karena Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dalam keadaan dukacita, maka apabila kamu membacanya hendaklah kamu merasakan keduka citaan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim).

Demikian juga senantiasa mengingat peringatan Allah dalam firman-Nya:

“Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini ke atas sebuah gunung, niscaya engkau melihat gunung itu khusyuk serta pecah belah karena takut kepada Allah”. (Al-Hasyr:21).

Rasulullah saw bersabda:

“Tidaklah beriman dengan Al-Quran oleh orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran” (Diriwayatkan oleh At-Tirmizi)

Nabi juga bersabda:

“Ibadah yang paling utama bagi umatku ialah membaca Al-Quran”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Fadha’ilul-Quran)

Di dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah hidangan Allah, oleh karena itu hendaklah kamu menyebutnya dengan kekuatan yang kamu mampu menyebutnya. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah tali Allah, cahaya yang terang benderang dan penawar yang berguna. Penjaga kepada siapa yang berpegang kepadanya, jaminan kejayaan bagi yang mengikutinya. Ia tidak salah yang menyebabkan ia tercela, ia tidak bengkok yang menyebabkan ia perlu dibetulkan, keajaibannya tidak kunjung habis dan ia tidak menjadi cacat sekalipun banyak (kandungannya) ditolak orang. Bacalah Al-Quran karena Allah akan memberi ganjaran ke atas setiap huruf dari bacaanmu dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan kepadamu Alif, Lam, Mim itu satu huruf tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (Riwayat Al-Hakim)

Dalam satu wasiat kepada Abu Zar Rasulullah berkata:

“Kamu wajib melazimkan dirimu membaca Al-Quran karena ia adalah cahaya untuk kamu di bumi dan perbendaharaan untuk di langit.” (Riwayat Ibnu Hibban)

7- Senantiasa menjadikan doa sebagai perantara berhubungan dan permohonan kepada Allah di dalam setiap urusan hidup. Karena doa adalah inti bagi segala ibadah.

Untuk itu dirinya selalu memilih doa-doa yang ma’tsur dari Rasulullah saw. Sesungguhnya benar firman Allah bila Ia mengatakan:

“Mintalah doa kepadaku, niscaya aku akan memperkenankan permintaanmu”.

Adapun beberapa doa yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita untuk dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim adalah sebagai berikut:

1. Doa saat akan tidur

“Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, aku baringkan pinggangku dan karena Engkau aku mengangkatnya; jika Engkau tahan jiwaku (Kau ambil jiwaku) ampunilah diriku, jika Engkau lepaskan ruhnya, maka peliharalah diriku sebagaimana Kau pelihara hamba-hamba-Mu yang shalih”. (Hadits riwayat Jama’ah).

2. Doa ketika bangun dari tidur.

“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah kami mati. Dan kepada-Nya kami kembali.” (Hadits riwayat Bukhari)

3. Doa ketika memakai pakaian dan menanggalkannya.

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu kebaikan pakaian ini dan kebaikan yang ada padanya. Aku berlindung pada-Mu dari kejelekan pakaian ini dan kejelekan apa yang ada padanya”. (Hadits Riwayat Ibnus Sunni)

4. Doa ketika keluar dari rumah dan memasukinya.

“Dengan nama Allah aku bertawakal kepada-Nya; tidak ada daya, tidak ada kekuatan kecuali karena Allah”. (Sunan At-Tirmizi)

5. Doa ketika berjalan ke Masjid.

“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam pandanganku cahaya, pada pendengaranku cahaya, sebelah tangan kananku cahaya dan pada sebelah tangan kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di mukaku cahaya dan di belakangku cahaya dan jadikanlah bagiku cahaya.” (Bukhari)

6. Doa ketika memasuki masjid.

“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu”.

7. Doa ketika keluar dari masjid.

“Ya Allah, aku memohon kepadamu kurniaan-Mu”. (Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasa’i)

8. Doa ketika hendak makan.

“Ya Allah, berkahilah kami pada apa-apa yang Kamu rezkikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka, dengan nama Allah”. (Hadits riwayat Ibnu Sunni)

9. Doa setelah selesai makan.

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan kepada kami, memberi minuman kepada kami dan menjadikan kami dari golongan Muslim”. (Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’ie dan Ibnu Majah)

10. Doa ketika akan masuk kamar mandi.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari khubuth dan khaba’ith”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

11. Doa setelah keluar dari kamar mandi.

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan aku mengecap kelezatannya dan menjauhkan aku dari kesakitannya”. (Hadits riwayat Ibn Sunni dan Al-Tabarani)

12. Doa sebelum bersetubuh.

“Dengan nama-Mu, ya Allah jauhkanlah dari kami syaitan dan jauhkan syaitan daripada apa yang Kau karuniakan kepada kami”. (Hadits riwayat Bukhari).

Jika ditakdirkan bagi mereka akan memperoleh anak, syaitan tidak akan memudharatkannya selama-lamanya.

13. Doa ketika tidak dapat tidur.

“Ya Allah, sudah terbenam bintang-bintang sudah terkatup banyak mata sedangkan Engkau hidup dan jaga, tidak tidur. Wahai Yang Tegak, Yang Hidup dan Yang Jaga, tenteramkanlah mataku”. (Hadits riwayat Ibnus Sunni daripada Zaid Ibn Tsabit)

14. Wirid selepas shalat.

“Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah (membaca Subhanallah) sesudah setiap shalat 33 kali, membaca tahmid (Alhamdulillah) 33 kali dan membesarkan Allah (Allahuakbar) 33 kali. (Hadits riwayat Muslim daripada Abu Hurairah)

Dan digenapkan menjadi seratus dengan membaca:

“Tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya segala kekuatan dan kepunyaan-Nya segala pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu”. (Hadits riwayat Muslim)

15. Doa ketika selesai majelis.

“Maha suci Engkau ya Allah dengan segala puji-Mu aku bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Engkau, aku bermohon ampun kepadamu dan kau bertobat kepada-MU”.(Hadits riwayat Muslim daripada Ibn Umar)

16. Doa ketika menaiki kendaraan.

“Segala puji bagi Allah yang menggerakkan bagi kami kendaraan ini, padahal kami tidak sanggup melakukannya, dan sesungguhnya kami semuanya kembali kepada Tuhan kami”.(Hadits riwayat Muslim daripada Ibn Umar)

17. Doa ketika bermusafir.

“Ya Allah karena Engkau aku berusaha dan karena Engkau aku berjalan dan karena Engkau pula aku bepergian. Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebajikan dan ketakwaan dan berupa amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami perjalanan kami ini dan dekatkanlah bagi kami yang jauhnya. Ya Allah, Engkaulah sahabat dalam perjalanan dan Wakil di tengah-tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kepayahan perjalanan, dari kesedihan penglihatan, dari kejelekan saat kembali pada harta, keluarga dan anak-anak”. (Hadits ini sambungan dari hadits sebelumnya)

18. Doa ketika hujan turun.

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat (dua kali atau tiga kali)”. (Hadits riwayat Ibnu Syaibah dari hadits Aisyah).

19. Doa ketika mendengar guruh.

“Ya Allah, jangan Engkau bunuh kami dengan murka-Mu dan jangan Engkau binasakan kami dengan siksa-Mu dan selamatkan kami sebelum itu”. (Hadits riwayat Tirmizi, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar)

20. Doa ketika melihat anak bulan.

“Allah Maha Besar, ya Allah, muncullah bulan ini bagi kami dengan penuh berkah dan iman, keselamatan dan keislaman, taufiq pada apa-apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai ya Tuhanku dan Tuhanmu,Allah”. (Hadits riwayat At-Tirmizi dan Ibnu Hibban dan At-Tirmizi berkata: Hadits ini Hasan)

21. Doa kepada pengantin.

“Semoga Allah memberkati engkau dan memberkati atas kau dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”. (Hadits riwayat Bukhari, Muslim dan empat ahli hadits dari Anas
dan Abu Hurairah).

22. Doa ketika melihat kanak-kanak.

“Aku bermohon perlindungan untukmu dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap syaitan dan racun, dan dari setiap mata yang membawa kejelekan”. (Hadits riwayat Bukhari dari hadits Ibnu ‘Abbas)

23. Doa ketika menziarahi orang sakit.

“Ya Allah, hilangkanlah penyakit ini, wahai yang memelihara manusia. Sembuhkan lah, sesungguhnya Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang diberikan oleh-Mu, kesembuhan yang tidak disertai rasa sakit”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

24. Doa ketika dukacita.

“Tidak ada Tuhan yang berhak menyembuhkan melainkan Engkau, sesungguhnya aku termasuk di kalangan orang-orang yang zhalim”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Usamah Ibn Zaid)

25. Doa takziah kematian.

“Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang Ia ambil dan kepunyaan-Nya, apa yang Ia berikan dan segala sesuatu pada sisi-Nya sampai waktu yang ditentukan. Hendaklah kamu bersabar dan mengharapkan ganjaran”. (Hadits riwayat Bukhari dari hadits Usamah).

26. Doa dalam shalat jenazah.

“Ya Allah, maafkanlah dia dan berilah rahmat ke atasnya, selamatkanlah dia dan ampunilah dia, muliakanlah tempatnya, luaskan tempat masuknya dan bersihkanlah dia dengan air salju dan air dingin. Sucikanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan pakaian
yang putih dari kotoran, gantikanlah baginya rumah yang lebih baik daripada rumahnya, keluarganya dan pasangan yang lebih baik daripada pasangan yang dimilikinya. Masukkanlah dia ke surga dan lindungilah dia dari azab kubur dan azab neraka”. (Hadits riwayat Muslim daripada ‘Aus Ibn Malik)

8. Meyakini bahwa ibadah kebutuhan bukan sekedar kewajiban dan beban yang telah diwajibkan Allah, dan Allah SWT sama sekali tidak membutuhkan ibadah hamba-hamba-Nya, sehingga akan selalu memeliharanya dan menjaganya bagaimanapun dan kapanpun serta dimanapun keberadaannya

9. Meyakini bahwa ibadah yang dilakukan tidak menjamin diri masuk surga kecuali karena rahmat Allah SWT, namun dengan ibadah kepada Allah dirinya berharap semoga Allah memberikan rahmat dan ridha serta menjadi sarana untuk mendapatkan pahala dan ketaqwaan yang menjadi langkah menggapai ridha Allah.

10. Meyakini bahwa ibadah sebagai jalan terbukanya rizki dan berbagai kebaikan.

Read More......
Aku menangis bukan karena takut mati atau karena kecintaanku kepada dunia. Akan tetapi, yang membuatku menangis adalah kesedihanku karena aku tidak bisa lagi berpuasa dan shalat malam.” (‘Amir bin ‘Abdi Qais)