IKUTILAH AJANG POTENSI PELAJAR ISLAM. Minggu, 24 Juli 2011 di Kampus Iprija
Ikutilah Lomba Pidato Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Marawis/Nasyid, MTQ di Ajang Potensi Pelajar Islam (APPI). Minggu, 24 Juli 2011 di Kampus IPRIJA

Senin, 06 April 2009

Pernikahan Lintas Agama

Dewasa ini pergaulan bebas dari hari ke hari menimbulkan dampak perubahan nilai di masyarakat.
Islam mengajarkan prinsip muamalah di antara sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama. Dalam banyak aspek Islam tidak mengenal fanatisme agama. Tetapi, hubungan kemanusiaan yang mengarah pada tujuan hidup bersama dan membina keluarga atas dasar pernikahan mempunyai hukum tersendiri.

Bagi pemeluk agama manapun, pernikahan merupakan lembaga yang dipandang sakral. Sedangkan bagi umat Islam, nilai sakral pernikahan, antara lain, karena dipatri dengan nama Allah dan dijalani sebagai Sunah Rasul. Dengan demikian, ada kaidah keagamaan yang tidak boleh dilanggar. Dalam surat Al-Maidah ayat 5 terdapat peluang bagi pria Muslim untuk menikahi wanita dari golongan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi hal itu tidak berlaku sebaliknya.

Namun, ketika Umar bin Khattab menjadi kepala negara, ia keberatan pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, karena kalau pria Muslim dibebaskan saja kawin dengan wanita non-Muslim, maka dikhawatirkan minat terhadap wanita yang seiman menjadi berkurang. Itu berarti bahwa dalil agama yang melandasi halalnya menikahi wanita Ahlul Kitab mengandung kelenturan terhadap penafsiran secara kontekstual.

Dewasa ini pergaulan bebas dari hari ke hari menimbulkan dampak perubahan nilai di masyarakat. Perbedaan agama kadang dipandang bukan lagi sebagai penghalang bagi dua anak manusia yang saling mencintai. Menyadari fenomena di tengah masyarakat, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1980 telah mengeluarkan fatwa haramnya pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Seorang laki-laki Muslim diharamkan pula hukumnya mengawini wanita bukan Muslimah. Tentang perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita dari Ahlul Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan mafsadah (kerusakannya) lebih besar daripada maslahat (manfaatnya), maka MUI memfatwakan perkawinan seperti itu haram hukumnya.

Buya Prof Dr Hamka (ketua umum MUI pertama) pernah mengatakan, kalau agama tidak sama, maka anak keturunan akan pecah jiwanya, bahkan besar kemungkinan karena tenggang-menenggang suami istri, keduanya sama-sama melalaikan agamanya, yang menyebabkan anak-anak mereka pun tidak tentu lagi apa agamanya.

Tokoh pemikir Muslim asal Mesir, Sayid Quthub, dalam Tafsir Fi Dhilalil Quran menulis, ''Kita menyaksikan pada masa kini bahwa pernikahan antaragama membawa keburukan atas rumah tangga Muslim. Kenyataan menunjukkan bahwa istri yang Yahudi atau Nasrani atau yang tidak beragama, memberi shibghah (corak) rumah tangga dan anak-anaknya dengan sibghah-nya itu, akhirnya ia melahirkan satu generasi yang berpaling dari Islam.''

Untuk menghindari hal demikian, maka etika pergaulan Islam harus diperkenalkan sejak dini kepada para remaja Muslim. Bila etika pergaulan menurut agama disadari oleh setiap Muslim, maka pernikahan lintas agama akan dapat dijauhi. Islam telah cukup memberikan bimbingan cara hidup dan pergaulan yang baik kepada umatnya agar tidak tersesat dari jalan yang diridhai. Wallahu a'lam bis-shawab.


Tidak ada komentar:

Aku menangis bukan karena takut mati atau karena kecintaanku kepada dunia. Akan tetapi, yang membuatku menangis adalah kesedihanku karena aku tidak bisa lagi berpuasa dan shalat malam.” (‘Amir bin ‘Abdi Qais)